Cerita ini terjadi saat aku masih berusia enam tahun. Karena alasan sering ditinggal orang tua, aku dititipkan pada kakek nenekku di daerah yang jauh dari keriuhan kota. Seperti kebanyakan anak kecil yang tumbuh di daerah terpencil, cerita mistis dan menyeramkan menjadi bagian dari keseharian.
Jika anak-anak di kota besar mengenal cerita dongeng Barat seperti Cinderella ataupun Rapunzel, aku malah lebih sering mendengar cerita tentang kuntilanak, genderuwo, dan sebagainya. Terus terpapar hal-hal mistis membuatku terbiasa dengan cerita menyeramkan, meskipun hati kecilku tetap punya ketakutan tersendiri.
Saat masih kecil, aku diwajibkan mengaji oleh nenekku. Bersama teman-teman sebaya, tiap petang kami selalu belajar mengaji di sebuah mesjid yang jaraknya 15 menit jika berjalan kaki dari rumah. Kegiatan mengaji dimulai pukul tiga, dan berakhir pukul lima.
Seperti anak-anak pada umumnya, seringkali, aku tidak langsung pulang ketika kegiatan mengaji selesai. Aku dan teman-teman sering bermain petak umpet sebelum pulang. Padahal aku tahu, nenek akan marah jika aku pulang tidak tepat waktu.
Salah satu aturan nenek yang wajib kuturuti adalah aku harus pulang sebelum Magrib. Namanya juga anak-anak, aku sering melanggar peraturan itu untuk bermain bersama teman-teman. Sampai ada satu kejadian yang membuat aku tahu alasan nenek melarang aku berkeliaran di waktu Magrib.
Kala itu, di desa tempat aku tinggal memang sudah beredar cerita tentang kuntilanak yang mendiami pohon bambu. Kami tahu cerita yang beredar di masyarakat, namun aku dan teman-teman cuek saja bermain petak umpet di sekitar kebun bambu yang dimaksud. Entah mengapa, sore itu terasa berbeda dari hari biasanya. Udara terasa lebih dingin padahal sebelumnya tidak hujan.
Ketika tiba giliran aku bersembunyi, aku memilih bersembunyi di serumpun pohon bambu. Aku berusaha bersembunyi dengan benar agar temanku tidak bisa menemukanku. Suasana semakin sunyi, hanya sesekali saja terdengar suara langkah-langkah kecil yang mencari-cariku yang sedang bersembunyi. Semakin lama, suara semakin hilang. Sepi.
Sayup-sayup, aku mendengar suara tangisan. Pelan.. pelan.. yang perlahan semakin menjadi dan makin jelas. Aku mulai merinding, bulu kudukku berdiri mengingat kabar tentang kuntilanak yang menunggu pohon bambu di kebun ini.
Aku mulai menyadari sumber suara berasal dari atas pohon. Sempat terpikirkan bahwa mungkin itu temanku yang iseng. Tapi tidak mungkin teman-temanku ada yang bisa memanjat pohon bambu. Dengan keberanian yang tersisa, aku melihat ke arah atas pohon bambu yang saling bergerombol.
Jantungku seperti berhenti berdetak melihat makhluk aneh di atas sana. Makhluk itu seperti perempuan berambut panjang. Aku tidak melihat wajahnya, tetapi dia sedang mengusap-ngusap rambutnya yang sangat panjang. Mirip dengan hantu perempuan yang aku lihat di layar kaca, meskipun kali ini hawanya benar-benar berbeda dengan yang ada di televisi.
Suara yang awalnya menangis berganti menjadi suara tawa cekikikan. Suasana surup menjelang Magrib membuat peristiwa itu puluhan kali lebih menakutkan.
Aku tidak berekasi melihat makhluk yang saat ini tepat berada di atasku. Dengan ketakutan, aku berteriak sejadi-jadinya. Untungnya, seorang penjaga keamanan kampung lewat menemukanku sedang terjepit di sela-sela pohon bambu. Aku masih kebingungan, ketika kulihat ke atas, makhluk tersebut sudah tidak ada lagi. Meskipun penampakannya masih terbayang di pikiranku.
Sesampainya di rumah, aku menceritakan semuanya pada nenekku. Dengan tenang nenekku menjelaskan bahwa kuntillanak itulah yang sedang ramai dibicarakan orang desa. Dia sudah lama menghuni pohon bambu tersebut. Dari kejadian tersebut, aku sadar apa alasan nenek melarangku bermain di waktu surup.
Mulai saat itu, aku tak lagi berani bermain-main di waktu surup terlebih di dekat kebun bambu tersebut, bahkan untuk lewat aku masih trauma dan tidak berani melihat pohon itu. Kalaupun terpaksa lewat, aku akan membaca ayat-ayat Alquran sambil mengeluarkan jurus langkah seribu.
Untungnya, aku tidak pernah lagi melihat penampakan kuntilanak itu. Cukup sekali saja. Meskipun begitu, nampaknya kuntilanak itu cukup senang dengan anak-anak kecil di desaku. Ini aku ketahui dari kejadian setelah penampakan. Ada satu temanku yang hilang beberapa hari dan ketika diketemukan, ia dalam keadaan linglung di tengah kebon yang tak jauh dari kebun bambu.
Sejak saat itu aku yakin kalau kuntilanak sukanya muncul di waktu hari menjelang malam, di tempat-tempat sepi yang tak bisa kita prediksi. Kamu punya pengalaman yang sama?
Maret 26, 2020
Kuntilanak di Kebun Bambu yang Menghantui Masa Kecilku
By ㅤㅤ